Beranda | Artikel
Keutamaan Menasihati Kaum Muslimin (Bag. 2)
Kamis, 8 Februari 2024

Kembali melanjutkan risalah dari Syekh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili hafidzahullah, dalam tajuk “Keutamaan Menasihati Kaum Muslimin”.  Kemudian, beliau melanjutkan dengan membawakan beberapa perkataan para ulama tentang pentingnya nasihat.

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah (wafat th.187H) berkata,

لَمْ يُدْرِكْ عِنْدَنَا مَنْ أَدْرَكَ بِكَثْرَةِ صِيَامٍ وَلَا صَلاَةٍ؛ وَإِنَّمَا أَدْرَكَ عِنْدَنَا بِسَخَاءِ الأَنْفُسِ، وَسَلاَمَةِ الصَّدْرِ، وَالنُّصْحِ لِلْأُمَّةِ

Di kalangan kami (karakter) seseorang tidak dikenal (sebagai orang yang mulia) dengan banyaknya puasa dan salat. Akan tetapi, kami mengenali (karakter) seseorang (sebagai orang yang mulia) dari jiwanya yang dermawan, hatinya yang selamat, dan senang menasihati umat.” (Lihat Sayrus Salafus Shalihin Li Qiwaamis Sunnah, hal 1034)

Syekh Ibrahim hafidzahullah menjelaskan perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah di atas,

Kedermawanan

Yang dimaksud dengan سَخَاءُ الأَنْفُسِ (kedermawanan) adalah:

Pertama: Dermawan dengan hartanya. Ia memberikan hartanya kepada siapa saja yang membutuhkan.

Kedua: Dermawan dengan mencintai kebaikan untuk setiap muslim. Tidak hanya terbatas pada orang-orang tertentu saja.

Hati yang selamat

Selamatnya hati dari kotoran-kotorannya, berupa: hasad, dengki, ria, dan lain sebagainya. Merupakan kedudukan yang sangat agung. Betapa nikmatnya seseorang bangun dari tidurnya dalam keadaan hatinya suci dan bersih dari segala hal-hal yang buruk. Simaklah sebuah kisah yang diceritakan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, tentang seorang sahabat yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sabdakan di hadapan para sahabat lainnya bahwasanya ia adalah penghuni surga,

كُنَّا جُلُوسًا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : “يَطْلُعُ عَلَيْكُمْ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ” فَطَلَعَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ تَنْطِفُ لِحْيَتُهُ مِنْ وُضُوئِهِ قَدْ تَعَلَّقَ نَعْلَيْهِ فِي يَدِهِ الشِّمَالِ. فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ ذَلِكَ، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ مِثْلَ الْمَرَّةِ الْأُولَى فَلَمَّا كَانَ الْيَوْمُ الثَّالِثُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ أَيْضًا، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ عَلَى مِثْلِ حَالِهِ الْأُولَى. فَلَمَّا قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبِعَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فَقَالَ : “إِنِّي لَاحَيْتُ أَبِي فَأَقْسَمْتُ أَنْ لَا أَدْخُلَ عَلَيْهِ ثَلَاثًا فَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ تُؤْوِيَنِي إِلَيْكَ حَتَّى تَمْضِيَ فَعَلْتَ” قَالَ : “نَعَمْ”قَالَ أَنَسٌ : وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يُحَدِّثُ أَنَّهُ بَاتَ مَعَهُ تِلْكَ اللَّيَالِي الثَّلَاثَ فَلَمْ يَرَهُ يَقُومُ مِنْ اللَّيْلِ شَيْئًا غَيْرَ أَنَّهُ إِذَا تَعَارَّ وَتَقَلَّبَ عَلَى فِرَاشِهِ ذَكَرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَكَبَّرَ حَتَّى يَقُومَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ. قَالَ عَبْدُ اللَّهِ : غَيْرَ أَنِّي لَمْ أَسْمَعْهُ يَقُولُ إِلَّا خَيْرًا.

فَلَمَّا مَضَتْ الثَّلَاثُ لَيَالٍ وَكِدْتُ أَنْ أَحْتَقِرَ عَمَلَهُ قُلْتُ : يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنِّي لَمْ يَكُنْ بَيْنِي وَبَيْنَ أَبِي غَضَبٌ وَلَا هَجْرٌ ثَمَّ وَلَكِنْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَكَ ثَلَاثَ مِرَارٍ يَطْلُعُ عَلَيْكُمْ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَطَلَعْتَ أَنْتَ الثَّلَاثَ مِرَارٍ فَأَرَدْتُ أَنْ آوِيَ إِلَيْكَ لِأَنْظُرَ مَا عَمَلُكَ فَأَقْتَدِيَ بِهِ فَلَمْ أَرَكَ تَعْمَلُ كَثِيرَ عَمَلٍ فَمَا الَّذِي بَلَغَ بِكَ مَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

فَقَالَ : “مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ”. قَالَ : فَلَمَّا وَلَّيْتُ دَعَانِي. فَقَالَ : “مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ”. فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ : “هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ وَهِيَ الَّتِي لَا نُطِيقُ”.

Anas bin Malik berkata, ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu bercerita, ‘Aku tinggal bersama laki-laki tersebut selama tiga malam. Anehnya, aku tidak pernah temukan ia mengerjakan salat malam sama sekali. Hanya saja, jika ia bangun dari tidurnya dan beranjak dari ranjangnya, lalu berzikir kepada Allah ‘Azza Wajalla dan bertakbir sampai ia mendirikan salat fajar. Selain itu juga, saya tidak pernah mendengar dia berkata, kecuali yang baik-baik saja.

Maka, ketika berlalu tiga malam dan hampir-hampir saja saya menganggap sepele amalannya, saya berkata, ‘Wahai kawan, sebenarnya antara saya dengan ayahku sama sekali tidak ada percekcokan dan saling mendiamkan seperti yang telah saya katakan. Akan tetapi, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang dirimu tiga kali, ‘Akan muncul pada kalian seorang laki-laki penghuni surga.’ Lalu, kamulah yang muncul tiga kali tersebut.

Maka, saya ingin tinggal bersamamu agar dapat melihat apa saja yang kamu kerjakan hingga saya dapat mengikutinya. Namun, saya tidak pernah melihatmu mengerjakan amalan yang banyak. Lalu, amalan apa yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai mengatakan engkau ahli surga?’

Laki-laki itu menjawab, ‘Tidak ada amalan yang saya kerjakan, melainkan seperti apa yang telah kamu lihat.’ Maka, tatkala aku berpaling, laki-laki tersebut memanggilku dan berkata, ‘Tidak ada amalan yang saya kerjakan, melainkan seperti apa yang telah kamu lihat. Hanya saja, saya tidak pernah mendapatkan pada diriku, rasa ingin menipu terhadap siapa pun dari kaum muslimin, dan saya juga tidak pernah merasa iri dengki kepada seorang atas kebaikan yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada seseorang.’ Maka, Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Inilah amalan yang menjadikanmu sampai pada derajat yang tidak bisa kami lakukan.`” (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya no.12697[1])

Nyatanya, hati yang selamat dari kotoran-kotoran merupakan syarat untuk masuk ke dalam surga. Pantaslah, jika kedudukan hal tersebut bisa dikatakan hampir mengungguli amalan lainnya. Sebagaimana unggulnya Abu Bakr radiyallahu ‘anhu dari sahabat yang lainnya[2].

Senang menasihati umat

Kemudian Fudhail bin ‘Iyadh menuturkan, “Dan senang menasihati umat.” Ini merupakan sifat yang mulia, ketika seseorang senang menasihati umat dengan tidak pandang bulu. Baik mereka yang notabenenya berusia kecil ataupun mereka yang sudah berusia dewasa.

Hamba yang paling dicintai Allah

Sebagian sahabat Nabi[3] shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنْ شِئْتُمْ لَأُقْسِمَنَّ لَكُمْ بِاللهِ أَنَّ أَحَبَّ عِبَادَ اللهِ إِلَى اللهِ الَّذِي يُحَبِّبُوْنَ الله إِلَى عِبَادِهِ وَيُحَبِّبُوْنَ عِبَادَ اللهِ إِلَى اللهِ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ بِالنَّصِيْحَةِ

Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya. Jika kalian ingin, saya akan bersumpah atas nama Allah di hadapan kalian. Bahwasanya hamba-hamba Allah yang paling dicintai oleh Allah adalah mereka yang membuat Allah cinta kepada hamba-hambanya dan membuat hamba-hambanya cinta kepada Allah. Dan mereka senantiasa berjalan di muka bumi dengan nasihat.” (Lihat Ghidza’ul Albab Fi Syarhi Mandzumatil Adab, 1:47)

Dari hal di atas, terdapat tiga hal yang dapat menjadikan seorang hamba menjadi orang yang paling dicintai oleh Allah:

Pertama: Hamba Allah yang membuat Allah cinta kepada hamba-hamba-Nya.

Kedua: Hamba Allah yang membuat hamba-hamba-Nya cinta kepada Allah.

Ketiga: Senantiasa dan senang untuk memberikan nasihat.

Wajib untuk menasihati manusia

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah (wafat th.198 H) berkata,

عَلَيْكَ بِالنُّصْحِ للهِ فِي خَلْقِهِ فَلَنْ تَلْقَاهُ بِعَمَلٍ أَفْضَلُ مِنْهُ

Wajib untukmu menasihati manusia untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Engkau tidak akan menemukan amalan yang lebih utama dari hal itu.” (Lihat At-Tauwbikh wa At Tanbih, hal. 23)

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah (wafat th.110 H) juga berkata,

مَا زَالَ للهِ تَعَالى نُصَحَاءُ، يَنْصَحُوْنَ للهِ فِي عِبَادِهِ، وَيَنْصَحُوْنَ لِعِبَادِ اللهِ فِي حَقِّ اللهِ، وَيَعْمَلُوْنَ للهِ تَعَالى فِي الأَرْضِ بِالنَّصِيْحَةَ، أُوْلَئِكَ خُلَفَاءُ اللهِ فِي الأَرْضِ

Allah Ta’ala senantiasa memiliki orang-orang yang senang menasihati. Mereka menasihati hamba-hamba Allah Ta’ala untuk beribadah kepada-Nya. Mereka menasihati hamba-hamba Allah untuk menunaikan hak Allah Ta’ala. Dan mereka menunaikan nasihat dengan penuh keikhlasan di muka bumi. Mereka adalah para khalifah Allah di muka bumi.” (Lihat Basha’ir Dzawit Tamyiz, 5:67-68)

Syekh Ibrahim hafidzahullah menjelaskan maksud dari khalifah adalah Allah akan berikan kepemimpinan kepadanya dengan menggantikan khalifah yang sebelumnya. Bukan makna khalifah disini adalah menjadi “pengganti” Allah. Dan inilah makna dalam ayat-ayat Allah, seperti firman Allah Ta’ala ketika berfirman kepada para malaikat,

إِنِّى جَاعِلٌ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةً۬‌ۖ

Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah: 30)

Maksudnya adalah suatu kaum yang menggantikan kaum yang sebelumnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Baqarah : 30)

Agama adalah nasihat

An-Nawawi rahimahullah (wafat th.676 H) berkata,

مَدَارُ الدِّيْنِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَحَادِيْثَ وَأَنَا أَقُوْلُ بَلْ مَدَارُهُ عَلَى حَدِيْث الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

Para ulama berpendapat bahwa poros dasar agama ini berputar pada empat hadis, sedangkan saya berkata bahwa poros itu berputar pada satu hadis. Yaitu, sabda Nabi, ‘Agama adalah nasihat.‘” (Lihat Basha’ir Dzawit Tamyiz, 5:64)

Demikianlah perkataan para ulama tentang betapa penting dan agungnya nasihat. Syekh Ibrahim hafidzahullah menuturkan dalam risalahnya,

“Menasihati kaum muslimin tentunya dengan mencintai kebaikan untuk mereka, bersemangat dalam memberikan manfaat untuk mereka yang berkaitan dengan agama maupun dunia mereka, berusaha keras mendorong mereka untuk memperoleh pencapaian tersebut. Serta senang terhadap hal yang berhasil mereka peroleh dari kebaikan dan kenikmatan. Bersedih terhadap yang menimpa mereka dari keburukan dan petaka.”

Depok, 26 Januari 2024/ 14 Rajab 1445

Kembali ke bagian 1: Keutamaan Menasihati Kaum Muslimin (Bag. 1)

Lanjut ke bagian 3: [Bersambung]

***

Penulis: Zia Abdurrofi


Artikel asli: https://muslim.or.id/91246-keutamaan-menasihati-kaum-muslimin-bag-2.html